Semua Permohonan dan Bukti Tim 01 & 03 di Tolak MK, Sidang Sengketa Pilpres 2024 |
Pada Senin (22/04), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak semua permohonan yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01, yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 03, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon "sepenuhnya tidak berdasar menurut hukum".
Beberapa alasan yang diajukan dalam permohonan tersebut meliputi perbedaan sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Setelah itu, fakta lain yang terkait dengan tuduhan abuse of power yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melibatkan penggunaan APBN untuk menyalurkan dana bantuan sosial (bansos) dengan tujuan mempengaruhi hasil pemilu. Salah satu contoh bukti mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi pada tingkatan pemerintahan pusat, daerah, dan desa adalah melalui dukungan yang diberikan untuk mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Menurut hukum, tidak ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa dalil tentang nepotisme Presiden Jokowi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Kemendagri, Polri, TNI, dan pemerintahan desa tidak sah. Meskipun begitu, pendapat berbeda atau opinion yang berbeda juga diungkapkan oleh tiga hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Menurut Hakim MK, Saldi Isra, prinsip fundamental pemilu yang diatur dalam UUD 1945 ialah menjalankan pemilu yang jujur dan adil.
Dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, diatur bahwa setiap lima tahun sekali akan diadakan pemilihan umum yang bertujuan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkala. Namun, menurut pendapat Saldi, penting juga bahwa pemilihan umum harus memperhatikan kesetaraan hak antara berbagai partai politik dan memastikan adanya persaingan yang bebas serta tingkat yang sama dari kesempatan untuk semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, persaingan yang adil dan bebas antara peserta diartikan sebagai sebuah pertandingan yang harus dimulai dan dilaksanakan dengan tingkat yang sama.
Selain itu, dalam kompetisi yang adil dan jujur, juga dianggap sebagai usaha untuk menghormati hak konstitusional warga negara dalam memilih dengan setara, tanpa adanya perilaku atau tindakan yang tidak jujur di dalamnya. Namun, menurut Saldi Isra, prinsip kejujuran dan keadilan tidak dapat terbatas pada aspek keadilan prosedural saja. "Menghormati dan mempraktikkan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan yang ditetapkan dalam norma konstitusi mengimplikasikan pentingnya mencapai keadilan substansial." Jika keadilan prosedural saja, prinsip pemilihan umum yang jujur dan adil dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak akan pernah ada.
Dia menyatakan bahwa pada masa Orde Baru, pemilihan umum dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Namun, secara praktis pemilihan umum pada masa Orde Baru dianggap tidak adil karena pelaksanaannya tidak menguntungkan semua peserta pemilu baik karena pemerintah memihak pada salah satu peserta pemilu maupun karena praktek penyelenggaraan pemilu yang tidak memberikan kesempatan yang adil bagi semua peserta pemilu. Menurut Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih dalam pandangan yang berbeda, mereka mengungkapkan bahwa Mahkamah seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.