BMKG, Peringatan Gempa Mega Thrust di Indonesia Dengan Maksimal Skala M 8,9 |
Peringatan yang dikeluarkan oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang kewaspadaan terhadap potensi megathrust sesungguhnya bukanlah informasi yang baru. Ia menilai bahwa Indonesia memang sering mengalami berbagai gempa.
Berdasarkan data dari BMKG, sejak berlangsungnya gempa besar berkekuatan M7,1 di Megathrust Nankai, Jepang Selatan pada hari Jumat, 8 Agustus 2024, pukul 14.42.58 WIB, Indonesia telah mengalami 7 gempa susulan. Namun, Daryono menegaskan bahwa gempa-gempa tersebut tidak berhubungan dengan gempa megathrust yang baru saja mengguncang Jepang.
"Tidak terdapat hubungan apapun (antara rentetan gempa setelah megathrust di Jepang)." "Kita memang mengalami banyak gempa," ujarnya kepada CNBC Indonesia, sebagaimana dikutip pada Rabu (14/8/2024). Sebelumnya, Daryono juga telah menyampaikan adanya potensi megathrust yang mengancam wilayah Sulawesi Utara. Ia menyatakan bahwa wilayah darat dan laut Sulawesi Utara rentan terhadap gempa bumi dan memiliki potensi gempa bumi di zona megathrust.
Menurut Daryono, Indonesia adalah area yang memiliki tingkat aktivitas gempa yang tinggi. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Webinar Update Gempa Indonesia dan Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Teknik Geofisika ITS bekerja sama dengan MTI, IGI Jatim, MGMP Geografi Jatim, dan Tunas Hijau. Acara ini ditayangkan di akun YouTube Teknik Geofisika ITS pada tanggal 13 Juli 2024.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan pemantauan gempa yang dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat sekitar 6.000 kejadian gempa yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Dengan tingkat kekuatan dan kedalaman yang beragam. Data dari BMKG mengindikasikan adanya peningkatan frekuensi gempa di area Indonesia.
Pada tahun 2008, BMKG melaporkan bahwa Indonesia mengalami 2.407 gempa, di mana 2.138 di antaranya memiliki magnitudo lebih dari 5. Dari jumlah tersebut, sebanyak 302 gempa dirasakan, di mana 10 di antaranya tercatat sebagai gempa yang menyebabkan kerusakan. Angka tersebut terus bertambah. Berdasarkan informasi dari BMKG, tahun 2021 tercatat terjadi 11.386 gempa, dengan 11.143 di antaranya memiliki magnitudo lebih dari 5.
Diketahui bahwa terdapat 27 gempa yang dicatat sebagai gempa yang menyebabkan kerusakan. Tahun 2021 merupakan tahun dengan jumlah kejadian gempa terbanyak di Indonesia selama periode 2008-2023. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 10.983 kejadian gempa, di mana 25 di antaranya dikategorikan sebagai gempa yang merusak. Indonesia terletak di titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. Yaitu wilayah Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia.
Akibatnya, Indonesia memiliki 13 segmen megathrust yang berpotensi menjadi sumber gempa besar, sesuai penjelasannya. "Tidak hanya itu saja." Sudah diidentifikasi sebanyak 295 segmen sesar yang aktif. Namun, masih terdapat banyak yang belum terdeteksi. Situasi tersebut menjadikan Indonesia salah satu negara yang rentan terhadap gempa, kata Daryono. Daryono menyatakan bahwa Indonesia rentan terhadap gempa karena terletak di wilayah yang mengalami tekanan. "Dari arah selatan, Indonesia mengalami tekanan dari Australia, serta dari Lempeng Laut Pasifik dan Laut Filipina, serta faktor-faktor tektonik dari Indo China yang turut memberikan tekanan."
Karena India bergerak ke arah Utara, hal itu menyebabkan Indo China juga memberikan tekanan kepada kita. "Indonesia dikelilingi oleh berbagai faktor, sehingga ada banyak sumber gempa," jelas Daryono. Hingga kini, dia menambahkan, masih terdapat banyak sumber gempa atau sesar yang belum teridentifikasi. Dia juga menegaskan adanya potensi gempa yang dapat menimbulkan kerusakan, yang sejauh ini masih belum teridentifikasi.
Termasuk di dalamnya adalah gempa bumi dengan kedalaman lebih dari 300 km di bawah laut (gempa fokus dalam) yang hingga kini penyebabnya masih menjadi bahan perdebatan, jelasnya. Daryono menyatakan bahwa kekhawatiran para ilmuwan Jepang mengenai kemungkinan terjadinya gempa besar yang disebabkan oleh salah satu segmen di Megathrust Nankai tidak tanpa alasan.
Hal ini disebabkan oleh adanya palung bawah laut sepanjang 800 kilometer di zona megathrust, yang membentang dari Shizouka di barat Tokyo hingga ke ujung selatan Pulau Kyushu. Gempa dengan magnitudo 7,1 yang terjadi kemarin dikhawatirkan dapat menjadi pemicu atau memicu terjadinya gempa besar selanjutnya di Sistem Tunjaman Nankai.
Sebaliknya, Daryono mengakui bahwa kekhawatiran ilmuwan Jepang mengenai Megathrust Nankai saat ini sangat mirip dengan yang dirasakan oleh ilmuwan Indonesia. Terutama mengenai "Seismic Gap" Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9). Pelepasan energi gempa pada kedua segmen megathrust ini bisa dibilang hanyalah soal waktu.
"Menurut Daryono, kedua daerah tersebut telah lama, selama ratusan tahun, tidak mengalami gempa besar." Oleh karena itu, dia melanjutkan, sebagai upaya pencegahan dan pengurangan risiko, BMKG telah mengembangkan sistem pemantauan, pengolahan, dan penyebaran informasi mengenai gempa bumi serta peringatan dini tsunami yang lebih cepat dan tepat.
BMKG telah secara konsisten memberikan pendidikan, pelatihan mitigasi, latihan, dan evakuasi terkait pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, pemangku kepentingan, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, serta industri dan infrastruktur kritis seperti pelabuhan dan bandara pantai. Semua itu disajikan melalui program-program seperti Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS), dan Pembentukan Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community).
Daryono menyatakan, Kami berharap usaha kami dalam mengurangi dampak bencana gempa bumi dan tsunami dapat berhasil dalam meminimalkan risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga mencapai zero victim.