Surabaya, Kasus Pembunuhan Anak Eks Anggota DPR RI F-PKB Bebas, Komisi Yudisial Periksa 3 Hakim

 

Surabaya, Kasus Pembunuhan Anak Eks Anggota DPR RI F-PKB Bebas, Komisi Yudisial Periksa 3 Hakim


Komisi Yudisial mengirimkan tim investigasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yang telah memutuskan bahwa terdakwa Gregorius Ronald Tannur tidak bersalah. Oleh karena itu, dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap korban 'Dini Sera Afrianti', terdakwa dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Erintuah Damanik bersama dua anggotanya, Mangapul dan Heru Hanindyo. 

Menghadapi pemeriksaan secara tertutup selama hampir lima jam, yang dilakukan di ruang Kantor Pengadilan Tinggi Surabaya, pada hari Senin, 19 Agustus 2024. Gregorius Ronald Tannur, yang merupakan anak dari mantan anggota DPR RI Fraksi PKB, Edward Tannur, yang menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan brutal terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti yang berusia 29 tahun, telah dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim berpendapat bahwa Ronald tidak terbukti melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap Dini yang menyebabkan kematiannya. 

Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik, menyatakan bahwa Ronald dianggap tidak terbukti melakukan tindakan kriminal yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum, Ahmad Muzakki. Baik menurut Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat 3 KUHP, serta Pasal 359 KUHP dan Pasal 351 ayat 1 KUHP. 

"Terdakwa Gregorius Ronald Tannur, yang merupakan anak dari Ronald Tannur, dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas tindak pidana yang tercantum dalam dakwaan pertama, kedua, dan ketiga," ujar Erintuah saat membacakan amar putusannya di Ruang Cakra PN Surabaya pada hari Rabu, 24 Juli 2024. 

"Menghapus seluruh tuntutan terhadap terdakwa, memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan ini disampaikan, serta memberikan pemulihan atas hak dan martabat terdakwa." Keputusan ini mengejutkan hampir semua pengunjung sidang yang hadir. Jaksa dalam sidang sebelumnya menuntut Ronald untuk dihukum selama 12 tahun dan diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga korban atau ahli waris sebesar Rp 263,6 juta. 

Setelah mendengar putusan itu, Ronald terlihat menangis dan sempat berbincang dengan pengacarnya. Setelah sidang berakhir, Ronald dibawa kembali ke Ruang Tahanan Pengadilan Negeri Surabaya. Saat dibawa ke ruang penahanan, mata Ronald tampak masih bengkak dan berkilau. Ia melangkah dengan didampingi oleh petugas dan tim penasihat hukum. 

JPU Ahmad Muzakki menyatakan bahwa ia akan mempertimbangkan putusan hakim tersebut. Dia menyatakan bahwa ia akan melakukan diskusi lebih mendalam dengan atasan di Kejari Surabaya. Ketika ditanya apakah dia akan mengajukan banding atau menerima keputusan, Muzakki enggan memberikan penjelasan rinci. Ia menyatakan akan menyampaikannya setelah melakukan diskusi. 

Dhimas Yemahura, pengacara yang mewakili keluarga korban Dini, menyatakan bahwa keputusan majelis hakim di PN Surabaya telah mengabaikan prinsip keadilan. Bukan hanya keluarga Dini, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Keputusan yang diambil oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya sangat mengkhawatirkan, mengingat putusan tersebut jelas-jelas melukai prinsip-prinsip keadilan. 

Dhimas menyatakan akan segera melakukan komunikasi dengan jaksa penuntut umum (JPU) dan sejumlah pihak yang berkepentingan. Agar dapat mengajukan banding dan keluarga korban memperoleh keadilan yang seoptimal mungkin. Dhimas berpendapat bahwa keputusan tersebut mencerminkan dan menjadi pelajaran bahwa hukum sering kali lebih berat bagi mereka yang berada di bawah dibandingkan yang di atas. 

Ia menyatakan bahwa keluarga korban masih mengalami trauma dan penderitaan akibat kejadian pembunuhan yang kejam tersebut. Akibat kondisi tersebut, anak Dini sekarang dirawat oleh kakek, nenek, dan sanak familinya. "Seperti yang sudah diketahui, korban berasal dari keluarga yang kurang mampu. Saat ini, anaknya menjadi yatim dan kini hidup sendiri. 

Kami, yang selama ini merawat korban, merasa sangat kecewa dengan keputusan ini karena tidak mencerminkan keadilan bagi korban." Ia berharap hakim memberikan putusan bebas kepada Ronald sebagai bentuk 'karmanya'. Alasannya, keputusan tersebut dianggap sangat merugikan semua pihak yang terlibat. "Semoga keputusan yang diambil oleh hakim ini akan mendapat balasan yang seimbang dari Tuhan Yang Maha Esa." 


Post a Comment

Silahkan Berikan Komentar Anda !

Previous Post Next Post

Contact Form